Selasa, 20 November 2012

Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove


Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup diperairan, diatas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta manusia yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin, 1991).
Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi bermacam-macam, yaitu : fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau produksi (Naamin, 1991). Fungsi fisik dari hutan mangrove atau ekosistem mangrove, yaitu : menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah.
Fungsi biologi dari hutan atau ekosistem mangrove, yaitu sebagai daerah pasca larva dan juwana jenis-jenis tertentu dari ikan , udang dan bangsa krustasea lainnya serta menjadi tempat bersarangnya burung-burung dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota. White (1985) dalam Naamin (1991). menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi.
Fungsi ekonomi dari ekosistem mangrove yaitu sebagai penghasil kayu bakar, bahan baku industri, obat-obatan, perabotan rumah tangga, kosmetik, makanan, tekstil, lem, dan lainnya, penghasil bibit/benih ikan, udang, kerang, kepiting, madu dan lainnya, dan juga sebagai kawasan wisata, konservasi, pendidikan dan penelitian (Dahuri, 1996).
Menurut Dahuri (1996), manfaat hutan mangrove sendiri dapat diidentifikasi berdasarkan berbagai macam produk langsung yang dihasilkan beserta kegunaannya (Tabel 1).
Tabel1. Produk Langsung Dari Ekosistem Mangrove
Kegunaan
Produk
Bahan bakar
Kayu bakar untuk masak, kayu bakar untuk memanggang ikan, kayu bakar untuk memanaskan lembaran karet, kayu bakar untuk membakar batu bata, arang
Konstruksi
Kayu untuk tangga, kayu untuk konstruksi berat, tiang penyangga terowongan jembatan, tiang dan galah untuk bangunan
Bahan untuk lantai, papan bingkai, material, membuat kapal, pagar, serpihan kayu
Memancing
Alat pancing, pelampung pancing, racun ikan, bahan pemeliharaan jaring
Pertanian
Makanan ternak, pupuk hijau
Produksi kertas, makanan, minuman dan obat-obatan
Berbagai jenis kertas, gula, alcohol, cuka, minuman fermentasi, rempah-rempah, sayur, buah, pembungkus rokok, obat tradisional
Peralatan Rumah Tangga
Perabot, lem, minyak rambut, mainan, batang korek api, kemenyan
Produksi tekstil dan kulit
Serat sintetik, bahan pencelup pakaian, bahan penyamak kulit
Lain-lain
Kotak Pengepakan

Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove



Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup diperairan, diatas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta manusia yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin, 1991).
Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi bermacam-macam, yaitu : fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau produksi (Naamin, 1991). Fungsi fisik dari hutan mangrove atau ekosistem mangrove, yaitu : menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah.
Fungsi biologi dari hutan atau ekosistem mangrove, yaitu sebagai daerah pasca larva dan juwana jenis-jenis tertentu dari ikan , udang dan bangsa krustasea lainnya serta menjadi tempat bersarangnya burung-burung dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota. White (1985) dalam Naamin (1991). menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi.
Fungsi ekonomi dari ekosistem mangrove yaitu sebagai penghasil kayu bakar, bahan baku industri, obat-obatan, perabotan rumah tangga, kosmetik, makanan, tekstil, lem, dan lainnya, penghasil bibit/benih ikan, udang, kerang, kepiting, madu dan lainnya, dan juga sebagai kawasan wisata, konservasi, pendidikan dan penelitian (Dahuri, 1996).
Menurut Dahuri (1996), manfaat hutan mangrove sendiri dapat diidentifikasi berdasarkan berbagai macam produk langsung yang dihasilkan beserta kegunaannya (Tabel 1).
Tabel1. Produk Langsung Dari Ekosistem Mangrove
Kegunaan
Produk
Bahan bakar
Kayu bakar untuk masak, kayu bakar untuk memanggang ikan, kayu bakar untuk memanaskan lembaran karet, kayu bakar untuk membakar batu bata, arang
Konstruksi
Kayu untuk tangga, kayu untuk konstruksi berat, tiang penyangga terowongan jembatan, tiang dan galah untuk bangunan
Bahan untuk lantai, papan bingkai, material, membuat kapal, pagar, serpihan kayu
Memancing
Alat pancing, pelampung pancing, racun ikan, bahan pemeliharaan jaring
Pertanian
Makanan ternak, pupuk hijau
Produksi kertas, makanan, minuman dan obat-obatan
Berbagai jenis kertas, gula, alcohol, cuka, minuman fermentasi, rempah-rempah, sayur, buah, pembungkus rokok, obat tradisional
Peralatan Rumah Tangga
Perabot, lem, minyak rambut, mainan, batang korek api, kemenyan
Produksi tekstil dan kulit
Serat sintetik, bahan pencelup pakaian, bahan penyamak kulit
Lain-lain
Kotak Pengepakan

Carbon Trading atau Perdagangan Karbon



Carbon Trading atau Perdagangan Karbon
Carbon Trading atau perdagangan karbon dapat didefinisikan sebagai menjual kemampuan pohon yang mampu menyerap karbondioksida dalam rangka menekan keberadaan karbondioksida itu sendiri di atmosfer untuk mengurangi pemanasan global. Dengan semakin gembar-gembornya isu tentang global warming, maka seluruh negara di dunia terutama negara-negara yang tergolong Annex 1 (negara maju penyumbang emisi terbesar) berupaya mencari solusi untuk menanggulangi masalah global ini sebelum berubah menjadi suatu bencana katastrofal. Salah satu upaya yang diajukan adalah dengan mengadakan carbon trading. Carbon Trading ini diawali dengan ditandatanganinya Protokol Kyoto yang menegaskan bahwa negara-negara yang tergolong Annex 1 harus menurunkan tingkat emisi karbonnya dengan penerapan teknologi tinggi dan juga menyumbang kepada negara-negara berkembang untuk mengerjakan proyek pengurangan emisi. Proyek-proyek pengurangan emisi ini biasanya dilakukan dengan menjaga kelestarian hutan dengan melakukan penanaman pada daerah bukan hutan (afforestasi) maupun penanaman kembali pada hutan yang sudah rusak (reforestasi).

Potensi Carbon Trading di Indonesia
Dengan keberadaan hutan tropis yang cukup luas di Indonesia, seharusnya negara ini mampu untuk mengorek potensi dari carbon trading. Selain bisa menambah devisa negara dari sektor pelestarian lingkungan, carbon trading ini juga secara tidak langsung telah turut berperan dalam menjaga keanekaragaman hayati serta kelestarian hutan tropis di Indoensia.
Potensi pendapatan yang akan diperoleh Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut. Harga karbon per ton di pasar dunia biasa ditentukan berdasarkan kesepakatan. Biasanya berkisar antara 5-40 dollar AS per ton. Harga itu akan terus berfluktuasi dan meningkat seiring dengan perubahan iklim yang semakin ganas. Kemampuan hutan untuk menyerap karbon per hektarnya berbeda-beda. Jika hutan itu masih alami, penyerapannya akan lebih baik dibanding hutan buatan. Jika diambil rata-rata penyerapan karbon sekitar 150 ton karbon per hektar. Maka, jika diasumsikan harga karbon 5 dollar AS per ton, 1 ha hutan bisa menghasilkan kurang lebih 750 dollar AS. Jika ada 1 juta ha hutan , maka penghasilan total yang akan didapat Indonesia berkisar kurang lebih 750 juta dollar AS, dari sektor lingkungan hidup. Indonesia sendiri mempunyai hutan dengan luas berjuta-juta hektar. Belum lagi ditambah hutan rawa gambut yang kemampuan penyerapan karbonnya mencapai 4000 ton karbon per hektar, sehingga bisa menghasilkan kira-kira 20.000 dollar AS per hektarnya. Maka, bisa dibayangkan berapa besar pendapatan yang akan didapat pemerintah Indonesia jika sukses meletarikan hutannya.
Bukan hanya dari segi ekonomi. Dengan carbon trading ini, kita dituntut untuk menjaga kelestarian hutan. Apalagi dengan laju deforestasi hutan di Indonesia yang mencapai 6 kali lapangan sepak bola setiap menitnya, seharusnya carbon trading ini menajadi pondasi untuk menghentikan laju deforestasi hutan di Indoensia. Dengan begitu, secara tidak langsung kita juga telah mengembalikan fungsi hutan pada tempatnya yaitu sebagai habitat flora dan fauna, menjaga siklus air, serta mencegah bencana ekologis. Jadi, bukan hanya dari sisi ekonomi saja yang diuntungkan, tetapi hampir di segala sektor terutama lingkungan hidup.

Jangan Dipandang Negatif
Banyaknya dampak positif yang sebenarnya dapat digali melalui carbon trading, ternyata tidak semata-mata membuat carbon trading ini dipandang positif oleh beberapa kalangan. Masih ada beberapa kalangan yang memiliki pandangan negatif terhadap carbon trading ini. Pandangan ini seperti pandangan yang menyatakan bahwa carbon trading ini hanya akan menjadikan negara-negara berkembang, terutama yang memiliki area hutan cukup luas seperti Indonesia, sebagai ‘wc umumnya’ negara-negara Annex 1. Hal ini disebabkan karena negara-negara Annex 1 itu dapat dengan bebas membuang emisi mereka dan kemudian hanya perlu membayar emisinya kepada penyedia layanan penyerapan karbon. Pandangan negatif seperti itu seharusnya dihapuskan, karena carbon trading ini juga menetapkan batasan jumlah karbon yang boleh dibuang ke atmosfer khusunya untuk negara-negara yang tergolong Annex 1.
Jika melihat potensi yang dapat digali serta keuntungan pada berbagai sektor, seharusnya carbon trading ini dapat dijadikan langkah awal Indonesia untuk membuat negara ini lebih maju dalam pengendalian lingkungan hidupnya. Jika dulu Indonesia kehilangan hutan untuk mendapatkan uang, sekarang Indoensia hanya perlu melestarikan hutan dan juga di satu sisi mendapatkan pemasukkan.
http://umum.kompasiana.com/2009/03/09/mencermati-potensi-carbon-trading/

Hasil Penelitian Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Maluku


Hasil Penelitian Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Maluku
Penelitian-penelitian yang terkait dengan valuasi ekonomi hutan mangrove di Provinsi Maluku dimulai tahun 1999 oleh Supriyadi dan Wouthuzen yang dipublikasikan melalui Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI tahun 2005, menunjukan bahwa nilai ekonomi total hutan mangrove di teluk Kotania seluas 2900 hektar adalah Rp. 64,8 Milyar per tahun atau Rp. 60,9 juta/hektar (Supriyadi dan Wouthuzen, 2005).
Pieter pada tahun 2006 melakukan valuasi hutan mangrove di desa Passo dan memperoleh nilai ekonomi total hutan mangrove seluas 6,84 hektar adalah sebesar Rp. 133.930.980,- per tahun atau sebesar Rp. 19.580.552,- per hektar per tahun (Pieter, 2006).
Valuasi ekonomi hutan mangrove secara menyeluruh di kota Ambon dapat ditemui dalam penelitian oleh Talakua pada tahun 2009. Nilai ekonomi total dari hutan mangrove seluas 64,32 hektar yang diperoleh sebesar Rp.1.190.954.663,- per tahun atau sebesar Rp. 18.516.086,- per hektar per tahun (Talakua, 2010).
Picaulima pada tahun 2010 melakukan valuasi hutan mangrove di Negeri Rutong dan memperoleh nilai ekonomi total hutan mangrove seluas 3,946 hektar hektar adalah sebesar Rp. 54.898.133,- per tahun atau sebesar Rp. 13.912.350,- per hektar per tahun (Picaulima, 2010).
Valuasi ekonomi hutan mangrove di dusun Pelita Jaya kabupaten Seram Bagian Barat dapat ditemui dalam penelitian oleh Sangadji pada tahun 2011. Nilai ekonomi total dari hutan mangrove seluas 70 hektar yang diperoleh sebesar Rp. 622.415.508,- per tahun atau sebesar Rp. 8.891.650,- per hektar per tahun (Sangadji, 2011).

Pengertian Mangrove


Pengertian Mangrove
Mangrove adalah pohon atau perdu yang tumbuh dipantai diantara batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan sedikit diatas rata-rata permukaan air laut (Hardjosentono, 1978), selanjutnya Direktorat Jenderal Kehutanan mendefinisikan hutan mangrove lebih spesifik lagi, yaitu tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan subtropika pantai diantara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit diatas rata-rata dari permukaan air laut (Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian, 1982).
Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan hutan itu tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik didaerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria (LH, DEPHUT, LIPI, dan Yayasan Mangrove 1993).
Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama tumbuh pada tanah aluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara, 1993).
Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem utama penyusun ekosistem wilayah pesisir. Hutan mangrove adalah formasi tumbuhan litoral yang kerakteristik terdapat didaerah tropika dan sub tropika , terhampar disepanjang pesisir (Manan, 1986). Menurut Nybakken (1988) , sebutan mangrove atau bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.
Kondisi fisik yang jelas nampak di daerah mangrove adalah gerakan air yang minim. Adanya gerakan air yang minim mengakibatkan partikel-partikel sedimen yang halus sampai di daerah mangrove cenderung mengendap dan mengumpul didasar berupa lumpur halus. Hasilnya berupa lapisan lumpur yang menjadi dasar (substrat) hutan . Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal, ditambah dengan banyaknya bahan organik dan bakteri penyebab kandungan oksigen didalam dasar juga sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di dalam substrat (Kusmana, 1997).
Gerakan yang minim dalam hutan mangrove bertambah lebih kecil lagi oleh pohon-pohon mangrove. Hal ini dikarenakan terdapat jenis-jenis mangrove yang mempunyai sistem perakaran yang khas berupa akar-akar penyangga yang memanjang ke bawah dari batang pohon. Jumlah akar yang demikian banyak dan padat didalam hutan mangrove sangat menghambat gerakan air. Kondisi ini mengakibatkan partikel-partikel akan mengendap disekeliling akar mangrove. Sekali mengendap, sedimen biasanya tidak dialirkan lagi oleh gerakan air dalam hutan mangrove. Dengan cara inilah terjadi “tanah timbul“ di pinggir laut yang berbatasan dengan hutan mangrove, Selanjutnya tanah timbul tersebut dikolonosasi oleh hutan mangrove. Jadi pada kondisi alam tertentu, hutan mangrove dapat menciptakan tanah baru dipinggir laut (Pariyono, 2006).
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pasang surut air laut. Pada waktu air pasang , melalui arus pasang masuklah air laut dan menyebabkan meningkatnya salinitas air hutan mangrove. Pada waktu air surut melalui arus surut, air dalam hutan mangrove mengalir keluar dan mengalirnya air tawar melalui air permukaan dan menurunkan salinitas air dalam hutan mangrove. Dengan perkataan lain pasang surutnya air dari hutan mangrove, tetapi juga mengakibatkan berfluktuasinya salinitas air di dalam hutan mangrove. Pada keadaan demikian dimana fluktuasi alami ini jelas dapat ditoleransi oleh pohon-pohon mangrove asal salinitasnya tidak melebihi ambang batas yang diperlukan untuk pertumbuhan pohon-pohon mangrove (Irmadi, 2004).